Bank Dunia Prediksi Ekonomi Indonesia Tumbuh 4,8% pada 2026

5 hours ago 7

Liputan6.com, Jakarta - Pertumbuhan di negara-negara Asia Timur dan Pasifik melambat seiring lingkungan eksternal yang kurang mendukung dan kesulitan domestik yang ada.

Sentimen eksternal yang akan pengaruhi kawasan  ini mulai dari peningkatan pembatasan perdagangan, meningkatnya ketidakpastian kebijakan ekonomi global dan perlambatan pertumbuhan global.

Dalam laporan Bank Dunia bertajuk World Bank East Asia and The Pacific Economic Update October 2025, ekonomi China diprediksi turun dari 4,8% pada 2025 menjadi 4,2% pada 2026. Hal ini seiring perlambatan pertumbuhan ekspor dan kemungkinan pengurangan stimulus fiskal mengingat meningkatnya utang publik. Selain itu, perlambatan struktural yang berkelanjutan.

Bank Dunia juga prediksi, ekonomi negara lainnya di kawasan ini akan tumbuh 4,4% pada 2025 dan 4,5% pada 2026 dalam menghadapi ketidakpastian kebijakan ekonomi global dan pertumbuhan global yang lebih lambat. Selain itu, meningkatnya ketidakpastian politik dan kebijakan domestik terutama di Indonesia dan Thailand.

Bank Dunia prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 4,8% pada 2025, demikian juga 2026 di kisaran 4,8%.

Sementara itu, ekonomi negara-negara kepulauan Pasifik akan tumbuh 2,7% pada 2025 dan 2,8% pada 2026. Hal ini seiring negara-negara di Pasifik masih rentan terhadap kondisi global dan peristiwa terkait iklim.

Bank Dunia melihat negara-negara di Asia Timur dan Pasifik dapat menempa jalur yang dinamis di tengah lingkungan eksternal yang sulit.

“Namun, mendukung pertumbuhan jangka pendek melalui langkah-langkah fiskal dapat memberikan manfaat pembangunan yang kurang berkelanjutan dibandingkan reformasi domestik yang lebih mendalam,” demikian seperti dikutip.

Bank Dunia menyebutkan, pertumbuhan di beberapa negara Asia Timur dan Pasifik relatif tinggi, tetapi langkah-langkah untuk mempertahankan pertumbuhan saat ini mungkin tidak kondusif bagi pertumbuhan masa mendatang.

“Di China dan Indonesia, misalnya pertumbuhan saat ini (sekitar 5 persen per tahun) melebihi perkiraan potensi pertumbuhan, sebagian besar berkat dukungan pemerintah,” demikian seperti dikutip.

Promosi 1

Reformasi Domestik Dapat Dongkrak Potensi Pertumbuhan

Di China, defisit fiskal akan meningkat dari 4,5% pada 2019 menjadi 8,1% pada 2025. Utang publik menajdi 70,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2025 yang dapat membatasi ruang lingkup stimulus dan demikian pertumbuhan pada 2026.

"Di Indonesia, masalahnya lebih pada arah pengeluaran pemerintah daripada besarnya defisit yang diperkirakan tetap berada dalam aturan fiskal negara,” demikian seperti dikutip.

Bank Dunia melihat pengeluaran itu untuk subsidi di sektor pangan, transportasi, dan energi serta investasi yang diarahkan negara untuk mendorong permintaan agregat.

Bank Dunia memandang, di kedua negara, reformasi seperti mengatasi hambatan non-tarif terutama di bidang jasa, serta deregulasi dan penyederhanaan perizinan usaha seperti di Indonesia dapat meningkatkan potensi pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja yang produktif.

Bank Dunia juga melihat negara lain, reformasi struktural baru-baru ini akan meningkatkan efisiensi ekonomi dan mendukung pertumbuhan.

Misalnya Filipina telah membuka sektor-sektor utama untuk persaingan yang lebih besar termasuk logistik, telekomunikasi dan energi terbarukan. Filipina juga berupaya membangun kapabilitas tenaga kerja melalui kerangka kerja Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Perusahaan yang baru diberlakukan.

Vietnam juga telah meluncurkan gelombang reformasi kelembagaan yang bertujuan menciptakan negara lebih efisien.

Kebijakan Tarif

Negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik juga hadapi tren peningkatan proteksi perdagangan yang menimbulkan tantangan dan sebagian besar sangat terpapar permintaan eksternal.

Amerika Serikat, pasar penting, baru-baru ini memberlakukan "tarif timbal balik" yang lebih tinggi pada sebagian besar mitra dagangnya, serta tarif yang lebih tinggi untuk impor di sektor-sektor tertentu antara lain baja, aluminium, tembaga, otomotif, dan suku cadang otomotif.

Meskipun China tetap menjadi negara yang menghadapi tarif AS tertinggi, di negara-negara Asia Timur dan Pasifik lainnya, besaran dansumber kenaikan tarif berbeda. Thailand, Vietnam, Filipina, dan Malaysia kurang terpengaruh oleh “tarif timbal balik” ASkarena spesialisasi ekspor di bidang elektronik dan semikonduktor (yang saat ini dikecualikan), dibandingkan dengan Laos, Kamboja, dan Myanmar yang mengekspor pakaian jadi dan produk lainnya.

“Dampak ekonomi secara keseluruhan dari tarif baru ini terhadap negara-negara EAP sulit diprediksi. Estimasi awal dari model ekuilibrium umum menunjukkan bahwa tarif AS saat ini (termasuk tarif "timbal balik" dan sektoral) dapat secara signifikan mengurangi ekspor ke AS,”.

Ketidakpastian Kebijakan Ekonomi

Ketidakpastian kebijakan ekonomi, terutama terkait kebijakan perdagangan, tetap tinggi: indeks berbasis berita mencapai level tertingginya sejak 1997 pada Juni 2025 dan, meskipun sedikit mereda, tetap tinggi.

Meningkatnya ketidakpastian tentang kebijakan ekonomi masa depan di dalam dan luar negeri dapat merugikan keputusan investasi dan ketenagakerjaan di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Perusahaan mengadopsi pendekatan "tunggu dan lihat", menunda atau mengurangi belanja modal untuk menghindari komitmen sumber daya dalam kondisi yang tidak dapat diprediksi.

Bukti dari perusahaan-perusahaan di kawasan ini menunjukkan peningkatan satu standar deviasi dalam ketidakpastian kebijakan ekonomi di luar negeri secara signifikan mengurangi pertumbuhan investasi dan memperlambat ekspansi lapangan kerja, karena perusahaan memprioritaskan likuiditas dan fleksibilitas dibandingkan komitmen jangka panjang. Efek ini ditransmisikan ke hulu dan hilir melalui jaringan produksi.

Pertumbuhan Global Lebih Rendah

Prospek pertumbuhan global telah melemah, dengan perkiraan konsensus 2025 direvisi turun sejak Januari. Perlambatan di belahan dunia lain akan memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap negara-negara berkembang di kawasan Asia Timur dan Pasifik.

Penurunan pertumbuhan G7 sebesar 1 persentase akan mengurangi pertumbuhan output di negara-negara berkembang di kawasan Asia Timur dan Pasifik sekitar 0,6 persentase pada tahun berikutnya, dengan dampak utamanya berupa melemahnya permintaan eksternal, harga komoditas yang lebih rendah, dan kondisi keuangan yang lebih ketat.

Penurunan pertumbuhan China sebesar 1 persentase diperkirakan menurunkan pertumbuhan di negara-negara berkembang lainnya di kawasan Asia Timur dan Pasifik sebesar 0,3 persen.

Pelonggaran Sektor Keuangan

Pasar keuangan global sejauh ini telah mampu bertahan dari turbulensi kebijakan baru-baru ini. Oleh karena itu, meskipun negara-negara Asia Timur dan Pasifik menghadapi tantangan nyata, mereka mengalami kondisi keuangan yang lebih stabil.

Bank-bank sentral di negara-negara maju utama telah menurunkan suku bunga kebijakan, dan suku bunga riil kini lebih rendah daripada suku bunga di negara-negara Asia Timur dan Pasifik.

Akibatnya, negara-negara Asia Timur dan Pasifik memiliki lebih banyak ruang untuk melonggarkan kebijakan moneter, dan arus masuk portofolio internasional yang kuat telah meningkatkan pembiayaan bagi perusahaan-perusahaan Asia Timur dan Pasifik. Namun, apresiasi sebagian besar mata uang regional terhadap dolar AS yang diakibatkannya dapat mengikis daya saing ekspor. "Oleh karena itu, dampak dari perkembangan keuangan belum jelas,” demikian seperti dikutip.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |