Harga Minyak Melemah, Kekhawatiran Surplus Tekan Sentimen Pasar

9 hours ago 8

Liputan6.com, Jakarta - Harga minyak dunia melemah pada perdagangan Senin. Pelemahan harga minyak ini terjadi karena kekhawatiran kelebihan pasokan global hingga potensi kesepakatan damai antara Rusia dan Ukraina. Namun pelemahan ini sedikit tertahan seiring peningkatan ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan Venezuela.

Mengutip CNBC, Selasa (16/12/2025), harga minyak mentah Brent turun 56 sen atau 0,92% dan ditutup di level USD 60,56 per barel. Sementara itu, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS melemah 62 sen atau 1,08% ke posisi USD 56,82 per barel.

Sepanjang pekan lalu, kedua kontrak minyak tersebut telah anjlok lebih dari 4%. Penurunan ini dipicu ekspektasi terjadinya surplus minyak global pada 2026, seiring pasokan yang diperkirakan melampaui permintaan.

Tekanan harga semakin terasa setelah ekspor minyak Venezuela dilaporkan turun tajam. Hal ini terjadi usai Amerika Serikat menyita sebuah kapal tanker pekan lalu serta menjatuhkan sanksi baru terhadap perusahaan pelayaran dan kapal yang berbisnis dengan negara produsen minyak Amerika Latin tersebut.

Pasar kini mencermati perkembangan lanjutan terkait potensi dampaknya terhadap pasokan minyak dunia. AS berencana mencegat lebih banyak kapal pengangkut minyak dari Venezuela, yang dinilai akan meningkatkan tekanan terhadap Presiden Venezuela Nicolas Maduro.

Tekanan Harga Emas Sudah Terlihat Sejak Pekan Lalu

Analis PVM, John Evans, mengatakan bahwa penurunan harga minyak sebenarnya berpotensi lebih dalam jika tidak ada langkah keras dari Amerika Serikat terhadap Venezuela. Menurutnya, tekanan harga sudah terlihat sejak pekan lalu, ketika kontrak berjangka minyak mencatat level terendah bulanan.

Meski demikian, dampak gangguan pasokan dari Venezuela dinilai masih terbatas. Pasalnya, pasokan minyak yang saat ini menuju China—pembeli minyak terbesar Venezuela—dinilai cukup melimpah. Selain itu, ketersediaan pasokan global yang besar serta melemahnya permintaan turut menahan laju kenaikan harga minyak.

Tekanan tambahan datang dari perkembangan pembicaraan damai Rusia-Ukraina. Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy dilaporkan menawarkan untuk mengesampingkan ambisi negaranya bergabung dengan NATO dalam pertemuan maraton selama lima jam dengan utusan AS di Berlin pada Minggu. Putaran kedua perundingan kembali digelar pada Senin.

Sekretaris Dewan Keamanan dan Pertahanan Nasional Ukraina, Rustem Umerov, menyatakan bahwa negosiasi dua hari terakhir berjalan konstruktif dan menghasilkan kemajuan nyata. Pernyataan ini memperkuat harapan pasar akan tercapainya kesepakatan damai.

Jika perdamaian tercapai, pasokan minyak Rusia berpotensi meningkat. Selama ini, ekspor minyak Rusia masih dibatasi oleh sanksi negara-negara Barat, sehingga tambahan pasokan bisa menekan harga minyak lebih lanjut.

Surplus Makin Lebar di 2026 dan 2027

Ekspektasi surplus minyak yang kian menguat juga menjadi faktor penekan harga. Kondisi ini diperburuk oleh melemahnya data ekonomi China, yang merupakan konsumen minyak terbesar di dunia. Aktivitas manufaktur China tercatat melambat ke level terendah dalam 15 bulan pada November, sementara pertumbuhan penjualan ritel menjadi yang terlemah sejak Desember 2022.

J.P. Morgan Commodities Research dalam catatan terbarunya menyebutkan bahwa surplus minyak global pada 2025 diperkirakan akan semakin melebar hingga 2026 dan 2027. Pasokan minyak global diproyeksikan tumbuh tiga kali lebih cepat dibandingkan pertumbuhan permintaan hingga 2026.

Analis UBS, Giovanni Staunovo, menilai tekanan pada harga minyak juga diperkuat oleh sentimen risk-off di pasar keuangan global. Pasar saham AS yang melemah serta data ekonomi China yang lebih buruk dari perkiraan membuat harga minyak sulit bangkit dalam waktu dekat.

Kombinasi antara melimpahnya pasokan, prospek perdamaian geopolitik, serta perlambatan ekonomi global membuat pergerakan harga minyak cenderung berada dalam tekanan, setidaknya dalam jangka pendek.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |