Kerugian Akibat Penipuan Digital Tembus Rp 7,3 Triliun, Ini 10 Modusnya

Liputan6.com, Jakarta Transformasi digital membawa banyak kemudahan di berbagai sektor, termasuk layanan keuangan. Kini, berbagai transaksi dapat dilakukan hanya dalam satu genggaman, tanpa perlu mengantre di bank atau mengisi slip merah seperti dulu. Namun, selain membawa berbagai kemudahan, hal ini turut membuka ruang baru untuk berbagai tidak kejahatan.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, kasus penipuan digital meningkat tajam sepanjang tahun 2025.

Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, mengungkapkan, laporan yang masuk terkait tindak penipuan dan kejahatan digital saat ini mencapai lebih dari 300 ribu kasus, dengan rata-rata 874 laporan setiap harinya. Rata-rata ini berada jauh di atas negara lain yang hanya menerima antara 7 hingga 140 laporan per hari.

“Jumlah rekening yang sudah kita blokir 510 ribu, nilai kerugian sudah 7,3 triliun rupiah,” ujar Friderica saat berbicara dalam Festival Ekonomi Keuangan Digital Indonesia (FEKDI) dan Indonesia Fintech Summit & Expo (IFSE), Jumat (31/10/2025).

Ia turut menyebut situasi ini sebagai peringatan serius di era digital dan masyarakat kini berada di posisi yang lebih rawan terhadap penipuan. Terlebih, angka tersebut kemungkinan masih di bawah kenyataan karena banyak masyarakat yang masih belum tahu kemana harus melaporkan tindak kejahatan ini.

“Ini saya rasa sudah sangat darurat, kita semua harus bersinergi, bersatu memerangi scam dan fraud ini,” tegasnya.

Dari ribuan laporan yang masuk, OJK mengidentifikasi sepuluh modus penipuan digital paling marak terjadi di Indonesia. Mulai dari penipuan transaksi belanja daring, fake call, penipuan investasi, penawaran kerja palsu, penipuan hadiah, penipuan media sosial, phishing, social engineering, pinjaman online fiktif, dan scam lewat aplikasi atau pesan WhatsApp. Dari 10 modus tersebut, penipuan belanja daring menjadi modus yang paling dominan dengan catatan kasus sebanyak 56 ribu laporan.

Umumnya korban tergiur oleh modus harga yang tampak murah, namun barang tersebut tak pernah datang setelah pembayaran dilakukan. Kerugian yang disebabkan oleh modus ini mencapai lebih dari Rp 1 triliun dengan rata-rata kerugian per kasus sekitar Rp 17 juta.

Dalam kesempatan itu, Friderica juga menyinggung terkait love scam, jenis penipuan yang jarang dibicarakan namun turut merugikan secara emosional. Ia mengatakan, walaupun jumlah kasusnya tidak sebesar penipuan transaksi daring, dampak psikologisnya sangat berat bagi korban. “Yang paling nyesek katanya adalah love scam,” ucapnya, berharap masyarakat tidak mudah percaya pada relasi yang hanya terjadi di dunia maya.

Untuk menghadapi ancaman ini, OJK memperkuat kerja sama dan berkolaborasi dengan berbagai lembaga negara. Melalui mandat Undang-Undang P2SK Pasal 247, dibentuk Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas PASTI) bersama Bank Indonesia, PPATK, Kepolisian, Kejaksaan, Kementerian Kominfo, dan instansi lain.

Hasil kolaborasi tersebut melahirkan Indonesia Anti-Scam Center yang berfungsi untuk memantau dan menindak kasus-kasus penipuan digital. Friderica menjelaskan, pusat pengaduan ini terus berupaya menandingi para pelaku penipuan yang kian lihai memanfaatkan teknologi.

“Kita melihat saat ini bagaimana anti-scam center ini kejar-kejaran, dengan scammer-scammer ini,” ujarnya. Menurutnya, kerja sama antara sektor keuangan, telekomunikasi, dan marketplace kini sangat penting karena sebagian besar kejahatan digital berawal dari perangkat seluler.

Ia menegaskan, kerja sama yang terjalin antara lembaga dan pelaku industri merupakan kekuatan utama Indonesia dalam menghadapi ancaman keuangan digital. “Trust is an essential foundation for digital financial markets,” terangnya sebagai penutup.