Transformasi Pesisir: Nelayan Kecil Jadi Pemilik atau Penonton?

2 hours ago 3

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah telah meluncurkan Paket Ekonomi 8+4+5. Paket Lima ditargetkan bisa menjadi landasan penyetakan tenaga kerja di Indonesia. Dari lima program tersebut, tiga di antaranya langsung menyentuh sektor perikanan dan kelautan. Ketiga program tersebut adalah Kampung Nelayan Merah Putih (KNMP), Revitalisasi Tambak Pantura, dan Modernisasi Kapal Nelayan

Langkah pemerintah ini mendapat apresiasi dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), meski organisasi nelayan tersebut tetap memberikan catatan kritis demi efektivitas implementasi di lapangan.

Ketua Umum KNTI, Dani Setiawan mengingatkan bahwa manfaat dari program ini tidak boleh hanya dirasakan oleh segelintir pihak tertentu atau pihak-pihak yang memiliki akses, melainkan harus sampai ke nelayan kecil secara nyata.

"Seluruh program tersebut ditujukan bukan hanya untuk menambah serapan tenaga kerja, tetapi juga diharapkan mampu mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir dan membangun kemandirian ekonomi nelayan tradisional," jelas dia dalam keterangan tertulis, Kamis (18/9/2025).

Untuk diketahui, Lima Program Penyerapan Tenaga Kerja tersebut adalah:

  1. Operasional Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP). Dari 81.487 KDMP berbadan hukum ditargetkan menyerap 681 ribu tenaga kerja, dengan target 1 juta hingga Desember 2025.
  2. Kampung Nelayan Merah Putih (KNMP). Menjangkau 100 desa tahun ini, menyerap 8.645 tenaga kerja, dengan potensi membuka 200 ribu lapangan kerja dari 4.000 titik.
  3. Revitalisasi Tambak Pantura. Menyasar area 20.000 hektare, diprediksi menyerap 168.000 tenaga kerja.
  4. Modernisasi Kapal Nelayan. Menyasar 1.000 kapal nelayan dan menciptakan 200.000 lapangan kerja. Termasuk penyediaan kapal 30 GT untuk KNMP serta kapal 150–2.000 GT bagi pelaku usaha dan BUMN/Agrinas Jaladri.
  5. Perkebunan Rakyat. Replanting lahan seluas 870.000 hektare oleh Kementan, ditargetkan mampu membuka 1,6 juta lapangan kerja dalam 2 tahun.

Koperasi Merah Putih Jadi Motor Ekonomi

Dani menjelaskan, kNTI menilai Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Kopdes Merah Putih) harus mampu menjawab persoalan-persoalan mendasar yang selama ini dihadapi masyarakat pesisir. Mulai dari akses terhadap BBM bersubsidi, penguatan rantai pasok dan distribusi hasil perikanan, hingga ketersediaan fasilitas cold storage yang sering kali menjadi masalah klasik di lapangan.

Dalam pandangan KNTI, koperasi bisa menjadi pondasi ekonomi rakyat jika dikelola dengan prinsip transparansi dan partisipasi. Koperasi bukan sekadar wadah formal, melainkan motor penggerak konsolidasi sumber daya. Dengan koperasi, hasil tangkapan nelayan dapat dikelola bersama, nilai tambah bisa diciptakan di tingkat lokal, dan akses pasar akan lebih luas.

KNTI turut menekankan pentingnya peningkatan kapasitas dan kapabilitas masyarakat pesisir. Artinya, program pemerintah tidak boleh berhenti pada penyediaan infrastruktur, tetapi juga harus menyentuh aspek peningkatan sumber daya manusia. Misalnya, pelatihan pengelolaan koperasi, literasi keuangan, hingga manajemen usaha kecil berbasis hasil perikanan. Jika nelayan tidak dibekali kapasitas memadai, koperasi hanya akan menjadi formalitas tanpa substansi.

Selain itu, pembentukan koperasi di kampung nelayan juga harus memastikan inklusivitas. Partisipasi masyarakat harus dijamin sejak awal, agar manfaatnya merata. Dengan begitu, Kopdes Merah Putih benar-benar bisa menjadi instrumen yang mendukung kesejahteraan nelayan kecil.

Transformasi Desa Pesisir Lewat Kampung Nelayan Merah Putih

Program Kampung Nelayan Merah Putih (KNMP) menjadi salah satu fokus perhatian KNTI karena berpotensi mengubah wajah desa-desa pesisir di Indonesia. Program ini tidak sekadar proyek pembangunan fisik, melainkan diarahkan untuk mentransformasi desa pesisir menjadi basis produksi pangan laut sekaligus menciptakan lapangan kerja baru.

KNTI menekankan bahwa keberhasilan KNMP akan ditentukan oleh sejauh mana program ini melibatkan masyarakat pesisir. Transformasi desa pesisir tidak bisa hanya berbasis pada infrastruktur, melainkan juga harus menyentuh aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Nelayan tradisional harus dilibatkan penuh sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Partisipasi ini bukan sekadar formalitas, melainkan syarat agar manfaat program benar-benar dirasakan oleh nelayan kecil.

Tak kalah penting, aspek lingkungan dan pengembangan SDM harus menjadi prioritas. Jika pembangunan desa hanya mengejar produktivitas tanpa memikirkan lingkungan, maka nelayan akan menanggung beban jangka panjang berupa penurunan hasil tangkapan dan kerusakan ekosistem. Selain itu, nelayan juga membutuhkan pelatihan manajemen koperasi, pengelolaan cold storage, hingga kemampuan teknis lain seperti perbengkelan dan pengelolaan pabrik es.

Revitalisasi Tambak Pantura Diproyeksikan Serap 168 Ribu Tenaga Kerja

Program Revitalisasi Tambak Pantura digadang-gadang menjadi salah satu proyek besar pemerintah. Dengan target perbaikan tambak seluas 20 ribu hektare, pemerintah memproyeksikan program ini bisa menyerap hingga 168 ribu tenaga kerja. Tambak yang direvitalisasi akan difokuskan untuk budidaya ikan nila salin yang kemudian dikelola oleh BUMN.

Namun, KNTI mempertanyakan sejauh mana serapan tenaga kerja itu benar-benar berasal dari masyarakat pesisir. Sebab, pengelolaan tambak modern membutuhkan keterampilan khusus, seperti manajemen kualitas air, penanganan penyakit ikan, pemberian pakan, hingga pengelolaan rantai pasok. Jika pelatihan tidak diberikan, ada risiko tenaga kerja justru didominasi pihak luar, sementara masyarakat pesisir hanya menjadi penonton di tanahnya sendiri.

Selain itu, KNTI juga menyoroti keberlanjutan rantai pasok hasil budidaya. Apakah ikan nila salin akan dipasarkan kepada masyarakat sekitar, industri besar, atau justru hanya menguntungkan tengkulak?

Modernisasi Kapal Nelayan Jadi Ancaman bagi Nelayan Kecil?

Pemerintah menargetkan modernisasi armada dengan menambah 1.000 kapal berkapasitas 30 GT dan sekitar 500 kapal berkapasitas 150–600 GT. Tujuannya untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi sektor perikanan nasional. Namun, KNTI menilai kebijakan ini menghadirkan dilema serius bagi masa depan nelayan tradisional.

Sekitar 90 persen nelayan Indonesia saat ini masih menggunakan kapal berukuran di bawah 10 GT. Perbedaan kapasitas yang jauh membuat nelayan kecil berada dalam posisi rentan. Kapal modern berkapasitas besar berpotensi mendominasi wilayah tangkap yang selama ini menjadi akses utama nelayan tradisional. Akibatnya, nelayan kecil bisa terpinggirkan dari sumber penghidupan mereka sendiri.

Proses perizinan kapal besar yang rumit juga berpotensi dimanfaatkan oleh perusahaan besar atau perantara. Alih-alih berpihak pada nelayan kecil, modernisasi justru bisa memperbesar dominasi pemodal kuat. Inilah sebabnya KNTI mengingatkan bahwa modernisasi harus diimbangi dengan perlindungan khusus bagi nelayan tradisional, agar tidak terjadi marginalisasi lebih lanjut.

Dengan pelaksanaan yang transparan dan keterlibatan nelayan kecil dalam semua tahapan, kelima program ekonomi ini memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Jika semua pihak baik dari pemerintah, lembaga terkait, dan nelayan bekerja bersama, maka peluang perubahan nyata akan terbuka lebar.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |