Liputan6.com, Jakarta - Sehari sebelum tenggat penerapan tarif resiprokal, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump justru mengubah kebijakan “tarif timbal balik” untuk sejumlah negara. Perubahan itu diumumkan pada Kamis (31/7/2025), hanya sehari menjelang batas waktu yang telah ditetapkan.
Gedung Putih turut mengumumkan bahwa barang-barang yang dikirim ulang untuk menghindari bea masuk akan dikenai tarif sebesar 40 persen. Sementara itu, negara-negara yang tidak tercantum dalam perintah baru akan dikenai tarif tambahan sebesar 10 persen.
Kebijakan baru ini merevisi ketentuan sebelumnya yang tertuang dalam perintah eksekutif pada April lalu.
Sebelumnya, dalam sebuah unggahan di media sosial pada Rabu (30/7/2025), Trump menegaskan bahwa “Batas waktu pertama Agustus adalah batas waktu pertama Agustus, tetap kuat dan tidak akan diperpanjang. Hari besar bagi Amerika!!!”
Namun, seperti dilansir CNBC pada Jumat (1/8/2025), seorang pejabat Gedung Putih menyatakan bahwa kebijakan tarif timbal balik baru itu baru akan mulai berlaku pada 7 Agustus 2025.
Respons Asia
Berikut respons sejumlah negara di Asia terhadap pengumuman tarif terbaru Trump, di tengah ketidakpastian menjelang tenggat waktu pemberlakuan kebijakan tersebut.
Kamboja
Perdana Menteri Kamboja Hun Manet menyambut baik revisi tarif terbaru yang diumumkan Presiden Trump.
“Ini adalah kabar baik bagi warga negara dan perekonomian Kamboja untuk terus membangun negara,” tulis Manet dalam sebuah unggahan di Facebook pada Jumat, tak lama setelah daftar tarif yang direvisi dirilis.
Dalam kebijakan baru tersebut, Kamboja kini dikenai bea masuk sebesar 19 persen, jauh lebih rendah dibandingkan tarif “Hari Pembebasan” mencapai 49 persen yang sebelumnya termasuk tertinggi dalam daftar yang diumumkan pada 2 April lalu.
Manet juga berterima kasih kepada Trump karena telah “memulai dan mendorong gencatan senjata antara tentara Kamboja dan tentara Thailand.” Pada pekan sebelumnya kedua negara tersebut sempat terlibat bentrokan di wilayah perbatasan.
Thailand
Menteri Keuangan Thailand, Pichai Chunhavajira, menyambut baik kebijakan tarif terbaru yang diumumkan Amerika Serikat.
Dalam sebuah unggahan di platform X, ia menyatakan bahwa tarif yang dikenakan terhadap Thailand “mencerminkan persahabatan dan kemitraan yang erat antara Thailand dan Amerika Serikat,” menurut terjemahan Google dari pernyataannya dalam bahasa Thailand.
Thailand kini menghadapi tarif sebesar 19 persen untuk ekspor ke AS, penurunan signifikan dari tarif awal yang sebelumnya ditetapkan sebesar 36 persen.
Chunhavajira menambahkan bahwa tarif yang diumumkan membantu Thailand tetap kompetitif di pasar global, memperkuat kepercayaan investor, dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Namun, ia juga mengakui bahwa kebijakan tersebut tetap berdampak pada para pelaku usaha dan petani. Untuk itu, pemerintah telah menyiapkan “langkah-langkah dukungan komprehensif,” termasuk pinjaman berbunga rendah, subsidi, serta insentif perpajakan guna membantu sektor domestik beradaptasi.
Taiwan dan Malaysia
Taiwan
Presiden Taiwan, Lai Ching-te, mengungkapkan bahwa negaranya saat ini dikenakan “tarif sementara” sebesar 20 persen, seraya menambahkan bahwa proses negosiasi masih berlangsung. Pernyataan tersebut disampaikan melalui halaman Facebook resminya pada Jumat (1/8/2025).
Angka ini lebih rendah dibandingkan tarif 32 persen yang diumumkan pada 2 April. “Jika kesepakatan tercapai, tarif diperkirakan akan diturunkan lebih lanjut,” tulis Lai.
Ia juga menyebut bahwa Taiwan akan melanjutkan pembahasan mengenai kerja sama rantai pasokan serta isu-isu yang berkaitan dengan Bagian 232—kebijakan tarif sektoral yang diberlakukan Presiden Trump atas dasar pertimbangan keamanan nasional.
Malaysia
Malaysia termasuk dalam daftar negara yang tarifnya diturunkan menjadi 19 persen, dari sebelumnya 25 persen yang tercantum dalam “surat tarif” yang dikirimkan pemerintah AS pada Juli lalu.
Sebelum kebijakan itu diberlakukan secara resmi, Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim sempat menyampaikan optimisme kepada parlemen.
“Tarif umum besok akan turun dan tidak akan membebani perekonomian kita,” ujarnya, sebagaimana dikutip CNBC dari pidato berbahasa Melayu yang telah diterjemahkan.
Anwar juga mengonfirmasi bahwa Presiden Trump dijadwalkan menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-47 yang akan digelar di Malaysia pada Oktober mendatang. Selama masa jabatan pertamanya, Trump hanya pernah menghadiri satu KTT ASEAN.
Jepang dan India
Jepang
Jepang, sebagai ekonomi terbesar kedua di Asia, telah mencapai kesepakatan dengan Trump yang menurunkan tarif ekspor negara itu dari 25 persen menjadi 15 persen pada 23 Juli lalu. Perjanjian tersebut juga mencakup pemangkasan bea masuk untuk sektor otomotif yang merupakan industri penting bagi Jepang menjadi 15 persen.
Dalam konferensi pers pada Jumat (1/8/2025), Kepala Sekretaris Kabinet Yoshimasa Hayashi menyatakan bahwa tarif baru tersebut “akan mengurangi ketidakpastian mengenai kebijakan perdagangan AS dan menurunkan risiko kemerosotan ekonomi kita dan ekonomi global,” seperti dilaporkan penyiar nasional NHK.
Hayashi menambahkan bahwa Jepang akan terus mendesak Amerika Serikat agar segera menandatangani perintah presiden guna menurunkan tarif sektor otomotif, menurut terjemahan Google dari pidatonya dalam bahasa Jepang.
Ia juga menegaskan bahwa pemerintah Jepang akan “melakukan segala yang kami bisa” untuk memitigasi dampak kebijakan tarif, termasuk memberikan dukungan pembiayaan bagi usaha kecil dan menengah.
India
India masih menghadapi tarif sebesar 25 persen dalam tabel terbaru yang dirilis pemerintah AS, karena belum mencapai kesepakatan dengan Presiden Trump. Angka ini sama seperti yang diumumkan sebelumnya pada Rabu (30/7/2025).
Dalam pidatonya di parlemen pada Kamis, Menteri Perdagangan dan Industri India Piyush Goel menyatakan bahwa India tengah menjajaki negosiasi perdagangan dengan Amerika Serikat, yang ditargetkan rampung pada Oktober atau November tahun ini. Pernyataan itu dikutip dari terjemahan atas pidato berbahasa Hindi-nya.
Goel juga menegaskan bahwa pemerintah sangat memperhatikan perlindungan terhadap petani, pelaku usaha, serta sektor usaha kecil dan menengah, dan akan mengambil semua langkah yang diperlukan untuk menjaga kepentingan nasional India.