Liputan6.com, Jakarta Presiden Donald Trump mengumumkan perundingan dagang terbaru antara Amerika Serikat dan China akan digelar di London pada hari Senin mendatang. Delegasi dari pihak AS akan dipimpin oleh Menteri Keuangan Scott Bessent, bersama dua pejabat penting lainnya, yakni Menteri Perdagangan Howard Lutnick dan Perwakilan Dagang AS Jamieson Greer.
Trump menyampaikan pengumuman ini melalui platform media sosial miliknya, Truth Social, pada Jumat sore. Ia menulis dengan nada optimis.
"Pertemuan itu akan berjalan dengan sangat baik.Terima kasih atas perhatian Anda terhadap masalah ini," kata Trump di platform media sosialnya, dikutip dari CNBC International, Minggu (8/6/2025).
Bessent diketahui merupakan tokoh kunci dalam upaya pemerintahan Trump untuk menjalin kesepakatan dagang dengan Beijing.
CNBC melaporkan mereka telah menghubungi Kedutaan Besar China di Washington untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai pertemuan ini. Namun, hingga berita ini ditulis, belum ada tanggapan dari juru bicara kedutaan.
Sebelumnya, Trump juga mengungkapkan rencana perundingan baru ini merupakan kelanjutan dari panggilan telepon panjang antara dirinya dan Presiden China Xi Jinping pada Kamis.
Pengumuman ini datang di tengah ketegangan dagang yang masih berlangsung antara dua negara ekonomi terbesar dunia tersebut. Perang dagang yang telah terjadi selama beberapa tahun terakhir masih meninggalkan dampak signifikan terhadap perdagangan global.
Pertemuan Bilateral di Jenewa
Meski sempat tercapai kemajuan dalam pertemuan bilateral di Jenewa bulan lalu di mana kedua negara sepakat untuk menurunkan sebagian tarif atas barang-barang masing-masing ketegangan kembali meningkat belakangan ini.
Pemerintah China beberapa kali menyuarakan kekecewaannya, menuduh AS menghambat kemajuan dari kesepakatan yang telah dibangun. Beijing mengkritik langkah Departemen Perdagangan AS yang memperingatkan industri semikonduktor agar tidak menggunakan chip buatan China .
Selain itu, keputusan terbaru dari pemerintahan Trump untuk mencabut visa sejumlah pelajar asal China yang sedang menempuh studi di AS juga menuai kecaman dari Beijing.
Di sisi lain, pemerintahan Trump menyatakan bahwa China belum menunjukkan komitmen penuh terhadap janji-janjinya di Jenewa, terutama terkait dengan ekspor mineral tanah jarang (rare earth elements) ke Amerika Serikat komoditas penting dalam industri teknologi tinggi.
Trump Larang Warganya Masuk ke AS, Iran: Mentalitas Rasis
Sebelumnya, Iran pada Sabtu (7/6/2025), mengecam larangan perjalanan yang diberlakukan Amerika Serikat (AS) terhadap warga Iran dan warga dari 11 negara lain yang mayoritas berasal dari Timur Tengah dan Afrika.
Presiden AS Donald Trump pada Rabu (4/6) menandatangani perintah eksekutif yang menghidupkan kembali pembatasan perjalanan secara luas, menggemakan larangan pada masa jabatan pertamanya. Kebijakan ini disebut-sebut sebagai upaya demi keamanan nasional, menyusul serangan bom molotov dalam pawai pro-Israel di Colorado, Minggu (1/6).
Direktur Jenderal Urusan Warga Iran di Luar Negeri pada Kementerian Luar Negeri Iran Alireza Hashemi-Raja menyebut kebijakan —yang akan mulai berlaku pada 9 Juni— sebagai "tanda nyata dominasi mentalitas supremasi dan rasis di kalangan para pembuat kebijakan AS".
Keputusan itu, tambahnya, menunjukkan permusuhan mendalam para pengambil keputusan di AS terhadap rakyat Iran dan umat muslim. Demikian seperti dikutip dari CNA.
Selain Iran, larangan dari AS ini menargetkan warga dari Afghanistan, Myanmar, Chad, Kongo-Brazzaville, Guinea Khatulistiwa, Eritrea, Haiti, Libya, Somalia, Sudan, dan Yaman. Larangan parsial juga diberlakukan terhadap para pelancong dari tujuh negara lain, termasuk Laos.
Hubungan AS-Iran
Hashemi-Raja mengatakan bahwa kebijakan ini melanggar prinsip-prinsip dasar hukum internasional dan merampas hak ratusan juta orang untuk bepergian hanya karena kebangsaan atau agama mereka.
Pejabat kementerian luar negeri yang sama menyebut larangan ini sebagai bentuk diskriminasi dan menambahkan bahwa hal ini akan menimbulkan tanggung jawab internasional bagi pemerintah AS, tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut.
Iran dan AS memutuskan hubungan diplomatik tidak lama setelah Revolusi Islam 1979. Hubungan kedua negara tetap tegang sejak saat itu.
AS merupakan rumah bagi komunitas Iran terbesar di luar Iran.
Menurut data dari Kementerian Luar Negeri Iran, pada 2020 terdapat sekitar 1,5 juta warga Iran yang tinggal di Negeri Paman Sam.