Liputan6.com, Jakarta Anggota Komisi XII DPR RI Rusli Habibie menilai polemik tambang nikel di Raja Ampat tidak bisa dilepaskan dari konteks kebijakan besar pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam.
Ia menyampaikan, Menteri ESDM saat ini sedang menjalankan tugas berat sebagai leading sector dalam pembenahan sektor energi dan mineral. Kebijakan reformasi royalti dan pengetatan aturan DHE terbukti telah membuat kepentingan nasional lebih terlindungi. Namun langkah tegas ini juga memunculkan resistensi dari kelompok yang selama ini nyaman dengan aturan yang longgar.
“Pak Menteri ESDM saat ini bukan hanya menjalankan fungsi teknis, tapi juga membawa agenda kedaulatan ekonomi. Dan itu yang membuat beliau jadi sasaran serangan dari pihak-pihak tertentu,” kata Rusli dikutip Minggu (8/6/2025).
Ia mendukung langkah penghentian sementara operasional tambang PT Gag Nikel di Raja Ampat yang diumumkan langsung oleh Menteri ESDM. Menurutnya, keputusan tersebut mencerminkan keberpihakan pada prinsip kehati-hatian dan keberlanjutan, serta respons terhadap aspirasi masyarakat dan kelompok lingkungan hidup.
“Langkah itu patut dihargai. Pemerintah menunjukkan keseriusan menata sektor ini dengan tetap mendengarkan suara rakyat.,” tegasnya.
Rusli menyatakan, percepatan pembangunan nasional yang tengah dijalankan pemerintah tidak boleh terganggu. Evaluasi terhadap tambang di Raja Ampat, menurutnya, penting dilakukan secara obyektif dan profesional, namun tidak boleh dijadikan dalih untuk melemahkan semangat reformasi tata kelola sumber daya.
Soal Tambang di Raja Ampat, Semua Pihak Diminta Terbuka Tak Antikritik
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi Mineral dan Batubara (ASPEBINDO) Anggawira bersuara terkait aktivitas tambang di Raja Ampat. Menurut dia, semua pihak yang terlibat dalam industri tambang untuk tidak anti kritik. Dia mengamini, kritik yang membangun haruslah diterima.
"Kita butuh tambang yang legal, berkelanjutan, inklusif, dan modern. Pemerintah harus menegakan hukum terhadap pelanggar, tegas tanpa pandang bulu. Indonesia mampu menjadi contoh dunia dalam tata kelola tambang berkelanjutan," kata Anggawira dalam keterangan tertulisnya, Minggu (8/6/2025).
Menurut dia, hal yang perlu dicatat saat ini adalah Indonesia masih membutuhkan industri pertambangan. Bukan hanya sebagai penyumbang devisa, tapi sebagai pilar penting menuju transisi energi dan kemandirian ekonomi nasional.
"Kita tidak sedang membicarakan tambang sebagai aktivitas ekonomi konvensional. Kita sedang membicarakan tambang sebagai penopang rantai pasok baterai, kendaraan listrik, energi bersih, dan digitalisasi global. Tanpa nikel dan tembaga dari Indonesia, dunia akan menghadapi kekurangan pasokan untuk teknologi masa depan," jelas Anggawira.
PNBP Meningkat
Anggawira menjelaskan, kontribusi sektor pertambangan terbilang signifikan dengan berada di angka 6–7% terhadap PDB nasional. Selain itu, sektor pertambangan juga mampu menyerap ratusan ribu tenaga kerja langsung dan tidak langsung.
"Sumbangan PNBP (penerimaan negara bukan pajak) dan royalti yang konsisten meningkat," tutur dia.
Anggawira mengingatkan, dengan disahkannya UU No. 3 Tahun 2020, Indonesia memiliki komitmen tegas dalam pengelolaan tambang berbasis kepastian hukum dan nilai tambah. Selain itu, Pemerintah juga mengatur pelaksanaan kegiatan melalui PP No. 96 Tahun 2021, mendorong hilirisasi, pengawasan lingkungan, dan pelibatan masyarakat.
"Namun tantangan utama bukan lagi pada regulasi, melainkan pada penegakan, konsistensi, dan transparansi. Di sini pemerintah dan pelaku industri perlu terus mendorong perbaikan," jelas Anggawira.
Sebagai bagian dari di industri tambang, Anggawira meyakini, para perusahaan tambang di Indonesia mampu membuktikan operasi tambang dapat berjalan beriringan dengan kelestarian lingkungan dan pengembangan masyarakat.