Banyak Sarjana jadi Pengangguran, Salah Siapa?

1 day ago 8

Liputan6.com, Jakarta Tingkat pengangguran di kalangan lulusan pendidikan tinggi di Indonesia masih menjadi sorotan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), per Februari 2025, tingkat pengangguran terbuka bagi lulusan universitas mencapai 5,25 persen. Angka ini lebih tinggi dibanding lulusan diploma I/II/III yang mencatatkan angka 4,83 persen.

Selain itu, tingkat setengah pengangguran umum tercatat sebesar 5,03 persen, dengan lulusan diploma berkontribusi sebesar 4,01 persen.

Pengamat Ketenagakerjaan, Timboel Siregar, mengatakan fenomena ini mengindikasikan masih adanya ketimpangan antara output pendidikan tinggi dan kebutuhan dunia kerja. Lulusan perguruan tinggi dinilai belum sepenuhnya siap memasuki pasar kerja karena keterbatasan keterampilan praktis serta kurangnya sertifikasi yang relevan dengan industri.

Pendidikan tinggi disebut perlu bertransformasi untuk merespon kebutuhan dunia usaha dan industri yang terus berubah. Fokus pembelajaran yang selama ini hanya menekankan aspek pengetahuan atau teori dianggap kurang cukup. Institusi pendidikan tinggi diharapkan mampu mengintegrasikan pengembangan keterampilan (skill) dan sertifikasi profesional dalam proses pembelajarannya.

"Menurut saya memang tentunya pendidikan tinggi ini harus juga bisa menyesuaikan diri dengan kebutuhan dunia usaha, dunia industri. Karena orientasinya kan memang lulusan perguruan tinggi kan mau bekerja gitu ya. Yang memang ada juga yang memang mau menjadi akademisi mengajar ya," kata Timboel kepada Liputan6.com, Selasa (27/5/2025).

Menurutnya, selain ijazah, lulusan juga diharapkan memiliki nilai tambah berupa kemampuan bahasa asing dan keterampilan teknis lain yang dibutuhkan industri, seperti kemampuan di bidang teknologi, kecerdasan buatan, dan penguasaan perangkat lunak.

Misalnya, lulusan ilmu komunikasi tidak hanya harus memahami teori komunikasi, tetapi juga memiliki kemampuan multibahasa serta keterampilan teknologi penunjang komunikasi modern.

"Gelar akademik penting, iya. Cuma tidak boleh menjadi variable tunggal. Dia harus disertai dengan sertifikasi. Dia harus disertai dengan keterampilan apa. Misalnya di komunikasi, ilmu komunikasi. Dia harus bisa paling tidak berapa bahasa," ujarnya.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |