Liputan6.com, Jakarta - World Research Institute (WRI) Indonesia mencatat sejumlah tantangan dalam upaya dekarbonisasi industri di Tanah Air. Salah satunya, kekhawatiran mengenai akses pembiayaan iklim (climate financing) untuk transisi energi.
Engagement Managing WRI Indonesia, Arif Utomo menyoroti tiga kendala utama dalam transisi energi di sektor industri. Salah satunya mengenai pembiayaan iklim yang belum diketahui mayoritas perusahaan.
Mengacu riset yang dilakukan WRI Indonesia terhadap 22 perusahaan, sebanyak 54 persen di antaranya kedapatan tidak mengerti betul adanya climate financing.
"Ini temuan kami cukup menarik karena ternyata dari industri atau private sector pun belum tahu ini ya tentang bagaimana bisa take in or communicates ke financing gitu ya," kata Arif, dalam diskusi media di Jakarta, Selasa (27/5/2025).
"Bahkan masih ada beberapa yang belum tahu climate financing ini ada," imbuhnya.
WRI Indonesia menjadi salah satu bagian dalam Climate Solution Partnership (CSP) bersama bank HSBC dan WWF. Kelompok ini tengah fokus dalam upaya transisi energi di sektor industri, termasuk pembiayaannya.
Tantangan Lainnya
Arif menyampaikan, ada tantangan lainnya untuk mengejar transisi energi di sektor industri. Yakni, minimnya panduan bagi industri untuk melakukan transisi energi.
Pada saat yang sama, kebijakan yang diambil oleh pemerintah dinilai belum mendukung penuh bagi industri melakukan transisi.
"Kebijakannya masih belum catching up, dalam arti kebijakan masih insufficient atau belum cukup untuk mendorong, memberikan industri untuk bertransisi," tegasnya.
Bawa Misi Transisi Energi ke Forum Internasional
Diberitakan sebelumnya, Ketua Komisi XII DPR RI, Bambang Patijaya, menghadiri Kongres Ekologi Internasional Nevsky XII yang digelar di Istana Tauride, St. Petersburg, Rusia, pada 22–23 Mei 2025. Kongres ini mengangkat tema “Planet Earth: Living in Harmony with Nature” dan dihadiri lebih dari 1.200 peserta dari lebih 40 negara, termasuk delegasi dari Indonesia.
Kehadiran politisi Partai Golkar ini sebagai perwakilan DPR RI menegaskan keseriusan Indonesia dalam mendukung tata kelola lingkungan hidup global. Forum ini menjadi ajang strategis untuk mendorong kerja sama internasional di tengah berbagai tantangan perubahan iklim, degradasi ekosistem, dan ketimpangan pembangunan.
"Indonesia tidak hanya hadir sebagai peserta, tetapi juga sebagai mitra strategis yang membawa agenda konkret. Kita ingin memastikan bahwa pembangunan berkelanjutan, transisi energi, dan perlindungan lingkungan menjadi prioritas bersama,” ujar dia dalam keterangan tertulis, Kamis (22/5/2025).
Perkuat Kerja Sama Global
Bambang Patijaya juga menyampaikan harapannya agar kongres ini menjadi jalan untuk memperkuat kolaborasi global dalam pengelolaan lingkungan, khususnya dalam adopsi dan pengembangan teknologi yang relevan.
"Kita berharap kerja sama ini bisa mencakup bidang-bidang strategis seperti pengolahan sampah, teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture), serta solusi teknologi lain yang bisa diterapkan secara berkelanjutan,” tegasnya.
Pemerintah Baru Kucurkan Rp 610 Triliun Buat Tekan Emisi Karbon, Berapa Kebutuhannya?
Sebelumnya, Pemerintah diketahui telah mengucurkan dana APBN sejumlah Rp 610,12 triliun transisi energi bersih. Angka ini ternyata masih sebagian kecil dari total dana yang dibutuhkan.
Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Boby Wahyu Hernawan mengungkapkan angka tersebut telah dikucurkan sejak 2016 hingga 2023.
"Hasil climate budget tagging Indonesia sejak tahun 2016 sampai dengan 2023, pemerintah Indonesia itu telah merealisasikan anggaran negara rata-rata Rp 76,3 triliun per tahun untuk aksi iklim," ungkap Boby dalam Executive Forum: Kesiapan Dana Swasta Indonesia Dalam Pembiayaan Iklim, di Jakarta, Jumat (25/4/2025).
Angka tersebut setara dengan 3,2 persen dari total APBN setiap tahunnya. Totalnya, kas negara sudah dipakai Rp 610,12 triliun untuk transisi energi.
"Setara dengan 3,2 persen dari APBN tiap tahunnya dengan jumlah kumulatifnya sejak 2016 adalah Rp 610,12 triliun," imbuhnya.
Boby menerangkan, alokasi dana dari APBN tersebut masih jauh dari biaya yang dibutuhkan untuk mengejar nol emisi karbon. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menghitung setidaknya butuh USD 1 triliun atau setara Rp 16.816 triliun (kurs Rp 16.816) untuk mencapai nol emisi karbon di 2060.
Sementara itu, Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia butuh USD 97,1 miliar hingga 2030 dan USD 580,3 miliar sampai dengan 2050. Biaya itu hanya untuk transisi energi bagi kapasitas terpasang (on grid).
"Sementara tadi disampaikan kapasitas ruang fiskal APBN sangat berbatas dengan berbagai prioritas pembangunan yang kita miliki bersama," katanya.