Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berharap skema pembagian risiko atau co-payment untuk produk asuransi kesehatan akan menurunkan premi.
Adapun penerapan skema co-payment ini dengan pemegang polis, tertanggung atau peserta paling sedikit menanggung sebesar 10% dari total pengajuan klaim asuransi tertuang dalam Surat Edaran OJK Nomor 7/SEOJK.05/2025 tentang Penyelenggaran Produk Asuransi Kesehatan.
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono menuturkan, proses aturan ini telah dilakukan kajian dan diskusi bersama LPEMFEB UI, perusahaan asuransi, asosiasi rumah sakit hingga asosiasi dokter asuransi. Ketentuan ini diterapkan, menurut Ogi untuk meningkatkan tata kelola, efisiensi layanan sesuai proses, dan efikasi medis sehingga mendorong sistem terintegrasi dan layanan berkualitas.
"Jadi memang efisiensi dari industri asuransi kesehatan itu terjadi kita perbaiki, bukan berarti dibebankan kepada konsumen, tetapi semua elemen ekosistem diperbaiki pada akhirnya akan lebih baik proses ke depannya. Kemudian memang upaya perbaikan ini inisiatif OJK terbitkan SE yang baru ini untuk perbaikan ekosistem asuransi kesehatan,” ujar dia saat FGD bersama media, Kamis (12/6/2025).
Ada sejumlah faktor yang mendorong OJK menerbitkan SE Nomor 7 Tahun 2025. Salah satunya inflasi medis di Indonesia yang lebih tinggi dari inflasi secara umum. “Medical inflasi di Indonesia jauh lebih tinggi dari inflasi secara umum. 2024 sebesar 10,1 persen. 2025 diperkirakan 13,6 persen. Secara natural cost untuk kesehatan akan meningkat,” kata Ogi.
Premi Akan Turun
Selain itu, pertumbuhan premi yang terus meningkat sehingga asuransi kesehatan tidak menjadi efisien. “Jadi justru kenaikan premi kesehatan tak terkendali. Premi naik dulu, rata-rata 2024 hampir 40 persen naiknya karena klaimnya terlalu tinggi,” ujar dia.
OJK berharap dengan skema co-payment ini dapat menurunkan premi ke depan. “Dalam jangka panjang pertanggungan dibayar 10 persen, premi akan turun sebenarnya. Bukan preminya tetap ada co-payment 10 persen. Kami sudah minta kajian asosiasi bahwa berapa premi tanpa atau dengan co-payment, turun,”kata Ogi.
Sementara itu, Kepala Departemen Pengawasan Asuransi dan Jasa Penunjang OJK Sumarjono mengatakan, tujuan SE Nomor 7 Tahun 2025 tentang penyelenggaran Produk Asuransi Kesehatan tersebut untuk memperbaiki ekosistem sektor kesehatan dan membangun keseluruhan ekosistem. “Co-payment lebih mahal, premi akan turun secara aktuaria. Tujuan daripada semua ini adalah untuk memperbaiki ekosistem sektor kesehatan meski kita bagian kecil,” tutur Sumarjono.
Pengertian Skema Co-Payment di Aturan Baru Asuransi Kesehatan
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewajibkan asuransi kesehatan menerapkan pembagian risiko (co-payment) di mana pemegang polis, tertanggung, atau peserta paling sedikit menanggung sebesar 10 persen dari total pengajuan klaim asuransi.
Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran OJK Nomor 7/SEOJK.05/2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan yang diteken Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono.
Menengok lebih dalam, apa itu pembagian risiko atau co-payment?
Skema co-payment dalam asuransi kesehatan adalah mekanisme pembagian biaya antara peserta asuransi atau sering disebut pemegang polis dan perusahaan asuransi atas layanan medis yang digunakan.
Dalam skema ini, peserta diwajibkan membayar sebagian dari total biaya layanan kesehatan, sementara sisanya ditanggung oleh pihak asuransi.
Misalnya, jika biaya rawat jalan sebesar Rp 1 juta dan polis asuransi menetapkan co-payment 10%, maka:
Peserta membayar Rp 100.000 (10%)Asuransi membayar sisanya Rp 900.000 (90%)
Tujuan Penerapan Co-payment:
- Mencegah moral hazard, yaitu penggunaan layanan medis secara berlebihan karena semua ditanggung asuransi.
- Mendorong efisiensi, agar peserta hanya menggunakan layanan yang benar-benar diperlukan.
- Menekan lonjakan premi, karena risiko klaim menjadi lebih terkendali.