Bukan Cuma Premanisme, Ternyata Hal Ini Hambatan Terberat bagi Investor

3 days ago 11

Liputan6.com, Jakarta Para pelaku industri menyoroti banyak hambatan investasi di Indonesia, sehingga akan sangat sulit guna memetik pertumbuhan 8% hingga 2030 sebagaimana dipatok pemerintah. 

Para elaku industri mengungkapkan persoalan hambatan investasi bukan sekadar premanisme, melainkan pula inkonsistensi kebijakan termasuk ketidakselarasan pusat dan daerah. 

Peristiwa premanisme yang menimpa salah satu manufaktur petrokimia di Cilegon, Banten beberapa waktu lalu, jadi pemantik pemerintah membereskan berbagai persoalan hambatan investasi.

“(Peristiwa Cilegon), harus jadi momen membenahi persoalan banyak hambatan investasi,” ungkap Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Sarman Simanjorang dikutip Senin (26/5/2025).

Dia mengatakan, sejumlah kendala tersebut dapat memengaruhi kinerja pertumbuhan ekonomi nasional yang ditargetkan tumbuh hingga 8% dalam 5 tahun ke depan.  

"Pertumbuhan ekonomi kita yang ditargetkan 8% dalam 5 tahun ke depan, hitung-hitungan kita itu investasi dibutuhkan sekitar Rp13.000 triliun sampai Rp14.000 triliun, itupun kalau ICOR-nya 3," kata Sarman.

Sementara itu, ICOR atau incremental capital output ratio, yang menjadi alat ukur tingkat efisiensi investasi suatu negara, di Indonesia masih tinggi yakni di atas 6. Sementara negara-negara Asean berkisar 3-4 yang artinya biaya investasi lebih efisien.

Ragam Persoalan

Bukan tanpa sebab, dia pun menerangkan, Indonesia masih memiliki ragam persoalan yang harus diselesaikan untuk dapat meningkatkan investasi lebih besar.  "Pertama, regulasi ini harus terus kita perbaiki, bagaimana perizinan ini dipercepat, jangan berbelit-belit, birokrasi yang ringkas, kami melihat ini masih perlu dipersingkat, meski sudah ada UU Cipta Kerja," tuturnya. 

Kedua, persoalan terkait pertanahan atau izin lahan yang seringkali membuat proses realisasi investasi terhambat. Ketiga, minimnya tenaga kerja terampil yang dibutuhkan sesuai dengan kebutuhan usaha sektoral. 

Apalagi, menurut Sarman, banyak investor yang mau masuk ke Indonesia dengan membawa teknologi tinggi. Faktanya, tenaga kerja di Indonesia dinilai belum siap untuk terlibat dalam hal itu. 

"90% tenaga kerja kita ini kan masih berpendidikan menengah ke bawah sehingga tumpuan kita bagaimana lebih banyak lagi masuk yang namanya industri padat karya, sedangkan industri padat karya kita ini kan boleh dikatakan dalam kondisi tertekan saat ini," tambahnya. Keempat, masalah keamanan dan kenyamanan berusaha. 

Pungli

Tak dipungkiri, dunia usaha masih diwarnai dengan pungutan liar (pungli), gangguan oknum premanisme, dan lainnya. Terakhir, polemik upah juga seringkali membuat investor maju mundur. Menurut dia, isu perubahan regulasi upah hanya terjadi di Indonesia  

"Hanya melihat pada kenaikan upah, tapi tidak dilihat produktivitas naik apa enggak? Pendapatan perusahaan naik apa enggak? Jadi saya rasa ini juga menjadi hal yang harus kita benahi," pungkasnya.

Hal lain, seperti diungkapkan Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas), soal pasokan energi yang tak pernah pasti. Salah satunya terkait harga gas bumi tertentu (HGBT) untuk bahan baku industri. 

Kebijakan HGBT

Untuk diketahui, kebijakan HGBT resmi dilanjutkan tahun ini melalui Keputusan Menteri ESDM No 76/2025 tentang Pengguna Gas Bumi Tertentu yang mulai berlaku pada Februari 2025. 

Adapun, untuk gas sebagai bahan baku dipatok sebesar US$6,5 per MMbtu dan gas sebagai bahan bakar US$7 per MMbtu.  

Sekjen Inaplas Fajar Budiono mengatakan meski aturan tersebut telah diberlakukan, pasokan gas yang mestinya digulirkan oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) tak berjalan optimal. 

Pelaku industri masih dikenakan alokasi kuota gas tertentu dalam pemakaiannya.  “Inkonsistensinya itu masih ada. Meskipun Kepres sudah turun,” ungkapnya.  

Untuk itu, Inaplas berharap pasokan gas domestik dapat meningkat seiring dengan dihentikannya ekspor gas ke Singapura dan dioptimalkan untuk mengisi kekosongan gas di jalur Sumatra-Jawa.  Di sisi lain, pihaknya kini juga mengandalkan energi listrik untuk operasional produksi. Penggunaan listrik dinilai lebih murah dan minim hambatan.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |